Program Energi dari Sampah Berpotensi Jadi Beban Keuangan

Esamesta.com – Pengelolaan uang negara dan sampah secara bersamaan oleh PT Danantara Daya Nusantara kini menjadi sorotan dari berbagai pihak. Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyoroti bahwa bau sampah di Indonesia bukan lagi sekadar masalah hidung, tetapi lebih pada kekuasaan yang digunakan untuk mengatur kebijakan.

Ia menilai bahwa di balik proyek Waste-to-Energy (WtE) yang disebut hijau dan modern, tersembunyi jejak kebijakan yang bisa membuat fiskal negara meleleh di tungku insinerator. Hal ini, menurut IAW, akan menjadi beban tambahan bagi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.

“Semuanya dimulai dari Perpres 109 tahun 2025, yang oleh pemerintah disebut sebagai solusi hijau atas darurat sampah,” kata Iskandar dalam pernyataannya.

Namun, di tangan PT Danantara Daya Nusantara, badan investasi milik BUMN, proyek itu justru berubah wajah, yakni dari solusi lingkungan menjadi ladang bisnis beraroma politik. Menurut IAW, hal ini membuat Presiden Prabowo bisa jadi mewarisi bom waktu yaitu kombinasi antara niat baik, kepentingan ekonomi, dan risiko fiskal.

Danantara, yang seharusnya menjadi “soko guru investasi nasional”, justru tampak mulai berperan sebagai pemadam kebakaran proyek BUMN bermasalah, dari Whoosh hingga sampah jadi energi.

UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebut bahwa pengelolaan sampah adalah urusan wajib pemerintah daerah. Artinya, biaya dan tanggung jawabnya ada di APBD, bukan APBN. Namun Perpres 109/2025 justru menendang logika hukum ini keluar jendela.

Baca Juga :  Anggota DPR RI Rocky Candra Dorong PLN Jambi Bisa Mandiri

Pemerintah pusat, lewat PLN dan Danantara, malah mengambil alih urusan daerah, yakni menentukan harga listrik, menyiapkan lahan, bahkan mengatur model bisnis. Lebih parah lagi, tipping fee (biaya yang biasanya dibayar Pemda ke pengelola sampah) dihapus.

“Kedengarannya efisien, padahal biaya itu tidak akan hilang, ia hanya berpindah menjadi beban PLN dan APBN. Pemerintah pusat akan jadi penanggung, daerah akan kehilangan kendali dan rakyat jadi penonton,” ujarnya.

Data IAW menunjukkan bahwa selama 20 tahun yakni tahun 2004–2024, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah berkali-kali menulis hal yang sama, bahwa sampah Indonesia bukan karena kekurangan proyek, tapi kekurangan tata kelola. LHP BPK 2018 malah menyebut hanya 18,17 persen daerah yang punya rencana pengelolaan sampah.

Di LHP 2020 temuannya, target pengurangan 30 persen di 2025 mustahil tercapai. Di LHP 2017 ditemukan dana DAK Rp1,68 triliun tidak efektif karena daerah tak siap. Lalu di LHP 2021 disebut program 3R (Reduce, Reuse, Recycle) gagal total.

Baca Juga :  Cekcok! Emak-emak di Jambi Colok Mata Korban Pakai Cabai Giling

“Seluruh rekomendasi BPK isinya adalah benahi dari hulu, bukan membangun pembakar di hilir,” kata Iskandar.

Melihat kondisi ini, maka pertanyaan, jika ini benar-benar “bisnis hijau”, mengapa hanya 33 kota besar yang mendapat proyeknya. Apakah daerah kecil tidak berhak menghirup udara hijau dan energi bersih? Mengapa hanya daerah dengan sampah melimpah yang dianggap bankable bagi investor?

Hal lain, apakah lahan sudah tersedia tanpa membebani APBD. Faktanya, banyak daerah harus menyiapkan lahan, infrastruktur, dan bahkan mengganti tanah warga. Artinya, “bisnis hijau nasional” ini diam-diam tetap membebani daerah, meski beban itu kini dibungkus dengan kata lain.

Jika dipaksakan, bagaimana nasib Perda-perda tentang sampah yang sudah disahkan DPRD di seluruh Indonesia. Dengan dihapusnya tipping fee, banyak Perda kehilangan dasar eksekusinya.

Secara hukum, ini bentuk nyata pelemahan otonomi daerah dimana Pemda kehilangan kendali atas urusan wajibnya sendiri.

“Skema kerja Danantara saat ini menyerupai special purpose vehicle versi negara. Dari proyek kereta cepat Whoosh hingga proyek WtE, pola yang sama muncul yakni standby loan, jaminan BUMN, keuntungan korporasi dan risiko fiskal yang berputar kembali ke APBN,” ungkapnya.

Data PLN menunjukkan overcapacity mencapai >30 persen di sistem Jawa-Bali, namun sekarang PLN tetap dipaksa membeli listrik dari proyek WtE seharga US$ 0,20/kWh, itu tiga kali lipat dari harga listrik berbasis batubara (US$ 0,07/kWh). Kelebihan biaya ini akhirnya tentu harus disubsidi oleh APBN ke PLN. Artinya, sampah rakyat dibakar, sekalian uang rakyat juga ikut terbakar.

Baca Juga :  Harimau Sumatera di Taman Rimba Jambi Mati Karena Sakit

Secara tata negara, kebijakan ini mengandung tiga pelanggaran prinsipil. Jika diuji di Mahkamah Agung, Perpres ini berpotensi bertentangan dengan UU 23/2014 dan UU 18/2008, karena melanggar pembagian urusan pemerintahan dan sumber pembiayaan publik.

Indonesian Audit Watch menyebut fenomena ini sebagai bentuk neo-ekstraktivisme fiskal, dimana rente ekonomi diciptakan bukan dari sumber daya alam, tapi dari krisis publik, kali ini, dari tumpukan sampah.

“Jika Danantara benar ingin jadi pemain hijau kelas dunia, sekolahkanlah investasinya, bukan direksinya,” ujarnya.

IAW menyarankan, agar Menkeu Purbaya diskusikan ke Presiden Prabowo bahwa jika ingin membangun ekonomi hijau yang sejati, bangunlah tata kelolanya, bukan tungkunya. “Jika benar hijau, maka hijaukan semua daerah, bukan hanya kota yang bisa disulap jadi proyek. Jangan bebani APBD untuk menyiapkan lahan proyek yang keuntungannya lari ke pusat. Dan jangan biarkan perda hasil keringat rakyat daerah diinjak oleh regulasi yang dilahirkan bertendensi rente,” tegasnya. (sam)